Hampir semua umat
islam sudah terlanjur memahami kata “madinah” sebagai sebuah nama kota di Saudi
Arabia; sebuah kota bersejarah dalam peradaban Islam. Bahkan, karena kemudian
kata itu digandeng dengan kata “al-munawarah” sehingga menjadi “madinah
al-munawwarah” yang artinya kota yang bercahaya, maka perlahan kata “madinah”
dimaknai sebagai “kota” dalam bahasa Indonesia.
Sementara dari
beberapa kajian yang saya dapat kata “madinah” punya akar kata “dien” yang
selama ini diterjemahkan sebagai “agama”. kata “din” itu sendiri sebenarnya bermakna
susunan kekuasaan, struktur hukum, aturan dan atau sistem serta norma dan
kecenderungan manusia untuk membentuk masyarakat yang mentaati hukum dan mencari
pemerintah yang adil. Dalam kata “din” itu tersembunyi suatu sistem kehidupan.
Sehingga madinah menjadi sebuah arti kata yang bermakna lebih luas bukan hanya sebagai
kota. Akan tetapi merupakan tempat tersusunnya suatu kekuasaan yang mengatur
hukum atau aturan dan sistem yang berlaku di dalam suatu negeri.
Dan ketika din Allah
yang bernama Islam itu telah disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat,
maka tempat itu diberi nama Madinah. Artinya, madinah merupakan tempat
dilaksanakannya din atau sistem dan atau aturan suatu negara. Seperti halnya,
kata “masjid”, yang berasal dari kata sujud, diberi imbuhan “ma” menjadi
bermakna “tempat sujud”. Dari akar kata “din” dan Madinah ini lalu dibentuk
akar kata baru madana, yang berarti membangun, mendirikan kota, memajukan,
memurnikan dan memartabatkan.
Dari akar kata
“madana” itu kemudian lahir kata benda “tamaddun” yang secara literal berarti
peradaban (civilization) yang berarti
juga kota berlandaskan kebudayaan (city
base culture) atau kebudayaan kota (culture
of the city).
Pilihan kata dengan terminologi
“madinah” yang berarti tempat dilaksanakannya hukum Allah, bisa menjadi sangat
jelas, bahwa madinah bukan semata tentang kota. Sedangkan, madinah juga pernah
ada jauh sebelum Nabi Muhammad ada. Jika pun kemudian ada perubahan nama
Yastrib menjadi Madinah, itu karena Nabi Muhammad berkaca dari sejarah kemilau
tegaknya Agama Allah oleh Nabi-Nabi terdahulu.
Di dalam surah Yassin,
yang bercerita tentang Nabi Musa, maka anda akan menjumpai satu firman Allah :
“wa ja a min aqshal madinati rajulun yas’a.…” "dan datanglah lelaki dari
ujung kota”. Jelas, bahwa di masa Musa, terminologi madinah sudah ada.
Lantas apa maksud dari madinah al munawwarah pada zaman rasulullah
adalah kota madinah yang bercahaya ataukah madinah dengan arti tempat
dilaksanakannya hukum Allah yang bercahaya?.
Penggunaan kata “Madinah” oleh Nabi
Muhammad SAW untuk menukar nama kota hijrah beliau itu mengisyaratkan suatu
deklarasi atau proklamasi bahwa di tempat baru itu hendak diwujudkan suatu
masyarakat teratur (atau berperaturan) sebagaimana mestinya suatu
masyarakat. Dengan demikian konsep Madinah
adalah pola kehidupan sosial yang
sopan yang ditegakkan atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh
kepada peraturan atau hukum.
Karena itu perkataan Arab untuk
peradaban adalah madaniyah yang memiliki dasar pengertian yang sama dengan
beberapa istilah yang berasal dari akar-akar rumpun bahasa lndo-Eropa seperti:
civic, polis dan politiae (juga”polisi”). Dalam konteks Jazirah Arabia, konsep
peradaban itu terkait erat dengan pola kehidupan menetap {tsaqafah) di suatu
tempat sehingga suatu pola hidup bermasyarakat tampak hadir {hadharah) di
tempat itu.
Masih dalam istilah Arab, tsaqafah
berarti “kebudayaan”, dan hadharah berarti “peradaban” sama dengan madaniyah.
Lawan tsaqafah adalah badawah yang mempunyai makna “hidup berpindah pindah”
{nomadism) dan makna kebahasaan “(tingkat) permulaan” {bidayah atau primitif).
Karena itu, “orang kota” disebut ahl al-hadhar atau hadhari dan “orang kampung”
disebut ahl al-baddwah atau badawi atau badwi (Badui). Kaum “Badui” juga sering
disebut al-A’rab yang secara semantis berbeda makna dari perkataan al-Arab
(orang Arab) sekalipun dari akar kata yang sama.
Dalam Al-Qur’an mereka yang disebut
al-A’rab itu digambarkan sebagai golongan masyarakat yang kasar dan sulit
memahami dan mematuhi aturan. Mereka juga digambarkan sebagai golongan
yang ketaatannya kepada Nabi Muhammad SAW hanya sampai batas kepatuhan
lahiriyah tanpa kedalaman iman. Dalam Al-Qur’an terbaca firman yang memerintahkan
Nabi Muhammad SAW untuk mengingatkan bahwa mereka itu baru “berislam” (secara
harfiah) karena iman belum masuk ke dalam hati mereka.
Lalu, dimanakah Madinah sekarang?
*) Dikutip dari berbagai sumber.
