Jumat, 16 September 2016

DIMANAKAH MADINAH?


Hampir semua umat islam sudah terlanjur memahami kata “madinah” sebagai sebuah nama kota di Saudi Arabia; sebuah kota bersejarah dalam peradaban Islam. Bahkan, karena kemudian kata itu digandeng dengan kata “al-munawarah” sehingga menjadi “madinah al-munawwarah” yang artinya kota yang bercahaya, maka perlahan kata “madinah” dimaknai sebagai “kota” dalam bahasa Indonesia.

Sementara dari beberapa kajian yang saya dapat kata “madinah” punya akar kata “dien” yang selama ini diterjemahkan sebagai “agama”. kata “din” itu sendiri sebenarnya bermakna susunan kekuasaan, struktur hukum, aturan dan atau sistem serta norma dan kecenderungan manusia untuk membentuk masyarakat yang mentaati hukum dan mencari pemerintah yang adil. Dalam kata “din” itu tersembunyi suatu sistem kehidupan. Sehingga madinah menjadi sebuah arti kata yang bermakna lebih luas bukan hanya sebagai kota. Akan tetapi merupakan tempat tersusunnya suatu kekuasaan yang mengatur hukum atau aturan dan sistem yang berlaku di dalam suatu negeri.

Dan ketika din Allah yang bernama Islam itu telah disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu diberi nama Madinah. Artinya, madinah merupakan tempat dilaksanakannya din atau sistem dan atau aturan suatu negara. Seperti halnya, kata “masjid”, yang berasal dari kata sujud, diberi imbuhan “ma” menjadi bermakna “tempat sujud”. Dari akar kata “din” dan Madinah ini lalu dibentuk akar kata baru madana, yang berarti membangun, mendirikan kota, memajukan, memurnikan dan memartabatkan.

Dari akar kata “madana” itu kemudian lahir kata benda “tamaddun” yang secara literal berarti peradaban (civilization) yang berarti juga kota berlandaskan kebudayaan (city base culture) atau kebudayaan kota (culture of the city). 

Pilihan kata dengan terminologi “madinah” yang berarti tempat dilaksanakannya hukum Allah, bisa menjadi sangat jelas, bahwa madinah bukan semata tentang kota. Sedangkan, madinah juga pernah ada jauh sebelum Nabi Muhammad ada. Jika pun kemudian ada perubahan nama Yastrib menjadi Madinah, itu karena Nabi Muhammad berkaca dari sejarah kemilau tegaknya Agama Allah oleh Nabi-Nabi terdahulu.

Di dalam surah Yassin, yang bercerita tentang Nabi Musa, maka anda akan menjumpai satu firman Allah : “wa ja a min aqshal madinati rajulun yas’a.…” "dan datanglah lelaki dari ujung kota”. Jelas, bahwa di masa Musa, terminologi madinah sudah ada.

Lantas apa maksud dari madinah al munawwarah pada zaman rasulullah adalah kota madinah yang bercahaya ataukah madinah dengan arti tempat dilaksanakannya hukum Allah yang bercahaya?.

Penggunaan kata “Madinah” oleh Nabi Muhammad SAW untuk menukar nama kota hijrah beliau itu mengisyaratkan suatu deklarasi atau proklamasi bahwa di tempat baru itu hendak diwujudkan suatu masyarakat teratur (atau berperaturan) sebagaimana mestinya  suatu masyarakat.  Dengan  demikian konsep  Madinah
adalah pola kehidupan sosial yang sopan yang ditegakkan atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh kepada peraturan atau hukum.

Karena itu perkataan Arab untuk peradaban adalah madaniyah yang memiliki dasar pengertian yang sama dengan beberapa istilah yang berasal dari akar-akar rumpun bahasa lndo-Eropa seperti: civic, polis dan politiae (juga”polisi”). Dalam konteks Jazirah Arabia, konsep peradaban itu terkait erat dengan pola kehidupan menetap {tsaqafah) di suatu tempat sehingga suatu pola hidup bermasyarakat tampak hadir {hadharah) di tempat itu.

Masih dalam istilah Arab, tsaqafah berarti “kebudayaan”, dan hadharah berarti “peradaban” sama dengan madaniyah. Lawan tsaqafah adalah badawah yang mempunyai makna “hidup berpindah pindah” {nomadism) dan makna kebahasaan “(tingkat) permulaan” {bidayah atau primitif). Karena itu, “orang kota” disebut ahl al-hadhar atau hadhari dan “orang kampung” disebut ahl al-baddwah atau badawi atau badwi (Badui). Kaum “Badui” juga sering disebut al-A’rab yang secara semantis berbeda makna dari perkataan al-Arab (orang Arab) sekalipun dari akar kata yang sama.

Dalam Al-Qur’an mereka yang disebut al-A’rab itu digambarkan sebagai golongan masyarakat yang kasar dan sulit memahami dan mematuhi aturan.  Mereka juga digambarkan sebagai golongan yang ketaatannya kepada Nabi Muhammad SAW hanya sampai batas kepatuhan lahiriyah tanpa kedalaman iman. Dalam Al-Qur’an terbaca firman yang memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk mengingatkan bahwa mereka itu baru “berislam” (secara harfiah) karena iman belum masuk ke dalam hati mereka.

Lalu, dimanakah Madinah sekarang?

*) Dikutip dari berbagai sumber.

SELULER

Dua tahun ke belakang iPhone 4 masih berupa barang mewah sebelum kehadirannya digantikan oleh iPhone 5 dan disusul oleh adiknya iPhone6. Kini iPhone 4 sudah menjadi telepon seluler kelas menengah ke bawah. Karena hanya dengan uang Rp.800.000,- saja kita sudah bisa memilikinya.

Sebenarnya tulisan ini berkaitan dengan semakin tidak adanya keberpihakan provider seluler di negara ini terhadap pelanggannya yang notabene lebih banyak berasal dari kelas menengah kebawah.  Mengapa saya mengatakan demikian?

Ambil contoh provider selular yang saya gunakan saat ini (tanpa perlu menyebutnya). Ketika akan membeli paket data, provider akan menawarkan begitu banyak pilihan. Dari yang berbonus paket data, paket telepon gratis (walaupun penggunaannya hanya khusus penjaga malam.. hehehe) hingga berhadiah kendaraan bermotor. Dan begitu dilihat isi dari paket tersebut, menurut pendapat saya sungguh sangat merugikan. Karena dalam paket tersebut tertulis: “Beli G***** Rp49rb utk 100MB + 1GB 4G + 1GB VIDEO utk 30hari + pulsa **** Rp49rb”.

Dengan uang sebesar limapuluhribu rupiah kurang seribu rupiah, pelanggan hanya mendapat quota data 100MB pada jaringan 3G, sisanya 1GB pada jaringan 4G dan 1GB untuk video streaming. Sedangkan telepon selular yang saya gunakan masih berada di jaringan 3G dan bukan 4G.

Kalau saya gunakan pun mungkin hanya cukup untuk chat melalui whatsapp atau messenger selama beberapa hari saja. Beberapa lama kemudian akan ada pemberitahuan via sms: “kuota internet anda akan habis. Selanjutnya akan dikenakan tarif normal”.

Lalu apa untungnya buat saya? Quota data 4G 1GB dan video streaming menguap begitu saja.


Entah apa yang ada di pikiran para pengelola layanan seluler negeri ini? Apakah mereka tidak pernah berpikir bahwa tidak semua pelanggan mereka adalah pemilik telepon selular berjaringan 4G? Apakah mereka tidak takut kehilangan pelanggan karena memilih provider lain yang menawarkan tarif flat di jaringan 3G saja? Dan menurut saya lagi, negeri ini belum siap dalam hal infrastruktur seluler berbasis 4G karena masih banyak sekali blind spot atau titik-titik dimana telepon seluler sering kehilangan signal.

Ya sudahlah….


Akhirnya saya memutuskan menggunakan provider lain guna menunjang pekerjaan saya yang memang sangat membutuhkan jaringan internet. Sedangkan provider yang lama hanya digunakan untuk telepon dan sms saja karena saya enggan mengganti nomor telepon yang sudah tersebar ke semua sahabat dan keluarga.